SYIAH dan kawin mut’ah adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.
Bentuk penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut’ah itu sendiri
di kalangan mereka. Ash-Shaduq di dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqih
dari Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya nikah mut’ah itu adalah agamaku
dan agama pendahuluku. Barangsiapa mengamalkannya maka dia telah
mengamalkan agama kami. Sedangkan barangsiapa mengingkarinya maka dia
telah mengingkari agama kami dan meyakini selain agama kami.”
Di dalam halaman yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah
pernah ditanya: “Apakah nikah mut’ah itu memiliki pahala?” Maka beliau
menjawab: “Bila dia mengharapkan wajah Allah (ikhlas), maka tidaklah dia
membicarakan keutamaan nikah tersebut kecuali Allah tulis baginya satu
kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka Allah ampuni dosanya.
Apabila dia telah mandi (dari berjima’ ketika nikah mut’ah, pen) maka
Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada rambutnya”.
Bahkan As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493
melecehkan kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama
Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa
melakukan nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Al-Husain,
barangsiapa melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al-Hasan,
barangsiapa melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali
Radhiyallahu ‘anhu dan barangsiapa melakukannya sebanyak empat kali maka
derajatnya seperti aku.”
Inilah seluk-beluk nikah mut’ah yang berlaku di kalangan Syiah.
1. Akad nikah
Di dalam Al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia
menyatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: “Apa yang
aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah
berduaan dengannya?” Maka beliau menjawab: “Engkau katakan: Aku
menikahimu secara mut’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya,
namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan
warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai
dirham demikian dan demikian.” Engkau sebutkan jumlah upah yang telah
disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut
mengatakan: “Ya” berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk
menggaulinya.” (Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’i hal. 28-29
dan 31)
2. Tanpa disertai wali si wanita
Sebagaimana Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi
seorang wanita yang masih perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin
kedua orang tuanya.” (Tahdzibul Ahkam 7/254)
3. Tanpa disertai saksi (Al-Furu’ Minal Kafi 5/249)
4. Dengan siapa saja nikah mut’ah boleh dilakukan?
Seorang pria boleh mengerjakan nikah mut’ah dengan:
- wanita Majusi. (Tahdzibul Ahkam 7/254)
- wanita Nashara dan Yahudi. (Kitabu Syara’i’il Islam hal. 184)
- wanita pelacur. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
- wanita pezina. (Tahriirul Wasilah hal. 292 karya Al-Khumaini)
- wanita sepersusuan. (Tahriirul Wasilah 2/241 karya Al-Khumaini)
- wanita yang telah bersuami. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
- istrinya sendiri atau budak wanitanya yang telah digauli. (Al-Ibtishar 3/144)
- wanita Hasyimiyah atau Ahlul Bait. (Tahdzibul Ahkam 7/272)
- sesama pria yang dikenal dengan homoseks. (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 54)
5. Batas usia wanita yang dimut’ah
Diperbolehkan bagi seorang pria untuk menjalani nikah mut’ah dengan
seorang wanita walaupun masih berusia sepuluh tahun atau bahkan kurang
dari itu. (Tahdzibul Ahkam 7/255 dan Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal.
37)
6. Jumlah wanita yang dimut’ah
Kaum Rafidhah mengatakan dengan dusta atas nama Abu Ja’far bahwa
beliau membolehkan seorang pria menikahi walaupun dengan seribu wanita
karena wanita-wanita tersebut adalah wanita-wanita upahan. (Al-Ibtishar
3/147)
7. Nilai upah
Adapun nilai upah ketika melakukan nikah mut’ah telah diriwayatkan
dari Abu Ja’far dan putranya, Ja’far yaitu sebesar satu dirham atau
lebih, gandum, makanan pokok, tepung, tepung gandum, atau kurma sebanyak
satu telapak tangan. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/457 dan Tahdzibul Ahkam
7/260)
8. Berapa kali seorang pria melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita?
Diijinkan bagi seorang pria untuk melakukan mut’ah dengan seorang
wanita berapa kali dia kehendaki. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/460-461)
9. Bolehkah seorang suami meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada orang lain?
Kaum Syi’ah Rafidhah membolehkan adanya perbuatan tersebut dengan dua model:
Bila seorang suami ingin bepergian, maka dia menitipkan istri atau
budak wanitanya kepada tetangga, kawannya, atau siapa saja yang dia
pilih. Dia membolehkan istri atau budak wanitanya tersebut diperlakukan
sekehendaknya selama suami tadi bepergian.
A. Alasannya agar istri atau budak wanitanya tersebut tidak berzina sehingga dia tenang selama di perjalanan.
B. Bila seseorang kedatangan tamu maka orang tersebut bisa
meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada tamu tersebut untuk
diperlakukan sekehendaknya selama bertamu. Itu semua dalam rangka
memuliakan tamu. (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 47)
10. Nikah mut’ah hanya berlaku bagi wanita-wanita awam. Adapun
wanita-wanita milik para pemimpin (sayyid) Syi’ah Rafidhah tidak boleh
dinikahi secara mut’ah. (Lillahi … Tsumma Lit-Tarikh hal. 37-38)
11. Diperbolehkan seorang pria menikahi seorang wanita bersama
ibunya, saudara kandungnya, atau bibinya dalam keadaan pria tadi tidak
mengetahui adanya hubungan kekerabatan di antara wanita tadi. (Lillahi …
Tsumma Lit-Tarikh hal. 44)
12. Sebagaimana mereka membolehkan digaulinya seorang wanita oleh
sekian orang pria secara bergiliran. Bahkan, dimasa Al-‘Allamah Al-Alusi
ada pasar mut’ah, yang dipersiapkan padanya para wanita dengan
didampingi para penjaganya (germo). (Lihat Kitab Shobbul Adzab hal.
239).
Sumber : www.islampos.com